Gadis Kecil Bercadar

Oleh: Asmara Dewo, Kemauan yang Lurus


Gadis Kecil Bercadar
SEPERTI biasa di rumahku, setiap sore ramai anak-anak belajar, baik pelajaran umum maupun pelajaran agama. Selain seorang guru di kelas, aku juga mengajar di rumah. Aku tidak suka melihat murid-muridku lamban menangkap pelajaran, karena itu aku mengundang orangtua murid untuk menambahkan waktu belajar anaknya di rumahku.
Banyak orangtua murid yang tidak setuju atas usulanku ini, hanya beberapa saja yang setuju. Alasan mereka beragam ; Karena takut anaknya tidak sempat bermain, masa anak-anak kan masa bermain daripada belajar, khawatir anak mereka tertekan. Ada juga orangtua yang pelit untuk pendidikan anaknya, jadi tidak mau menambahkan pengeluaran uang keluarga. Orangtua murid menilaiku memonopoli belajar. Dan masih banyak lagi.
Akhirnya murid yang kuajarkan di rumah ada delapan orang, satu diantaranya anak bapak Lurah. Iqbal muridku yang paling jahil dan juga cerdas, terkadang aku ingin saja menjewer telinganya. Tapi mengingat itu hukuman yang tidak baik, aku langsung beristigfar.
“Kenapa kamu, Lila?” aku mendekati gadis kecil itu.
Sambil tersedu-sedu ia menjawab dan mennujuk ke arah temannya, “Iqbal, Bu, jahat, dia narik-narik jilbabku.”
Ya Allah, Iqbal lagi . . Iqbal lagi, sebenarnya ini anak apa maksudnya sih. Tak bisa satu hari saja membuat suasana belajar nyaman, selalu saja ada keributan.
Mataku melototi Iqbal, “Kamu apain lagi Lila, hah? Sini ikut Ibu!” aku juga menyuruh Lila mengikutiku, “Lila juga ikut Ibu.”
Aku berpesan pada murid yang lainnya, “Yang lain hapal lagi doa sholatnya, nanti kalau ibu sudah kembali kita pratik sholat. Awas jangan sampai tidak ada yang hapal!”
“Iya, Bu” jawab murid-muridku serentak.
Setelah berpesan, aku menggiring Iqbal dan Kholila ke ruang tamu. Kemudian kusuruh mereka duduk di sofa.
“Iqbal, sudah berapa kali ibu bilang sama kamu, jangan buat usil saat belajar. Tapi terus saja kamu buat ulah. Apa kamu sudah tidak mau belajar lagi?” ucapku bernada tinggi.
Iqbal hanya diam, wajahnya ditundukkannya ke lantai. Ia takut kalau aku sudah marah, tapi ya begitu, sekarang saja takutnya, lusa sudah lupa. Kholila pun juga diam, tangisnya mulai mereda.
“Sekali lagi ibu tanya Iqbal, apa kamu sudah tidak mau belajar?” tanyaku semakin garang.
Lagi-lagi ia hanya diam, wajahnya pucat ketakutan. Aku sebenarnya tak tega membentaknya, tapi mau bagaimana lagi, ini anak luar biasa nakalnya. Mungkin karena itu juga ayahnya sangat antusias mengantarkannya belajar di sini. Berharap besar anaknya bisa berubah, tidak nakal lagi.
“Iqbal, lihat ibu!”
Perlahan wajahnya mendongak menatapku, “Iya, bu.”
“Iya apa?” mataku membulat menatapnya.
“Iqbal janji nggak akan jahil lagi, nggak akan ganggu Lila.”
Mataku masih mengikatnya, “Tak hanya Lila, semua teman-teman yang lain juga! Sekali lagi kamu berulah, ibu pulangkan kamu ke rumah, nggak boleh belajar lagi di sini.”
“Jangan, Bu! Iqbal masih mau belajar sama Ibu,” wajahnya sedih memohon.
Aku mengangguk, “Baiklah, kali ini kesempatan terakhir kamu untuk berubah. Jika tidak, ibu tidak akan memaafkan kamu lagi. Sekarang kamu minta maaf dengan Lila!”
“Lila, maafin aku ya? Aku janji nggak akan ganggu kamu lagi,” Iqbal menjulurkan tangannya.
“Iya, Bal, aku maafin kamu,” jawab Kholila dengan mata berbinar.
“Hm, bagus, sekarang Lila kembali belajar ya, hapal doa sholatnya!” dan ucapku pada Iqbal, “untuk Iqbal, kamu di sini dulu! Ada yang mau ibu bilang sama kamu.”
Wajahku mulai teduh, mataku tak garang lagi menatapnya. Namun aku masih penasaran dengan sifat Iqbal, kenapa yang sering diganggunya itu Kholila.
“Iqbal!”
“Iya, Bu” sahutnya.
“Coba kamu jujur sama ibu, kenapa yang sering kamu ganggu itu Lila? Kamu benci sama dia ya?” aku mulai menginterogasinya.
Iqbal menggeleng, “Nggak, Bu, Iqbal nggak benci sama Lila.”
Dahiku mengernyit, “Lho, lantas kenapa kamu sering buat dia menangis?”
Ia menggaruk rambutnya yang tak gatal, ia salah tingkah, “Sebenaranya,”
“Iya, sebenarnya apa, Iqbal?” aku mendesaknya, tak sabar menunggu jawabannya.
“Tapi Ibu janji, nggak akan marah sama Iqbal?”
“Iya, ibu nggak akan marah sama kamu. Ibu kan selalu mengajarkan kejujuran sama kalian, walaupun kejujuran itu terkadang pahit, kita harus bisa menerima dan menghargainya.”
Aku terkejut mendengar kejujuran anak ini, “Masya Allah . . Kamu ini Iqbal, ada-ada saja tingkahmu. Iqbal, kamu tidak boleh seperti itu, kita tidak boleh mengusik oranglain, sekalipun ia beda seperti kita.”
“Iya, Bu. Ibu aja nggak pake cadar, guru-guru di sekolah juga nggak ada yang pake cadar, terus Ibu Iqbal juga nggak pake cadar.
Nah, iqbal penasaran, kenapa si Lila pake cadar, apa ada yang ditutupi di wajahnya, atau jangan-jangan,” suaranya terhenti.
“Jangan-jangan apa, Iqbal?” tanyaku penasaran.
“Atau jangan-jangan si Lila boneng lagi,” ia tertawa.
Aku menggelang, terkejut apa yang baru saja diucapkannya, “Astagfirullah, kamu nggak boleh seperti itu, Bal. Mulai sekarang kamu nggak boleh mikirin yang macam-macam lagi sama Lila, dan juga nggak boleh ngebayangin wajah Lila seperti ini, seperti itu, ingat itu! Satu lagi yang harus kamu ingat, tugas kamu sebagai murid adalah belajar, banyak-banyak belajar agama. Nanti kalau kamu sudah besar, akan tahu kenapa Lila memakai cadar.”
“Iya, Bu, maafin Iqbal.”
Aku berdiri dari sofa, “Ya udah, sekarang kita gabung bersama teman-teman yang lain.”
Ia berdiri mengikutiku dari belakang. Kulihat anak-anak yang lainnya sibuk menghapal doa sholat. Kulihat Kholila yang begitu tekun menghapal. Ya Allah, anak ini sungguh mulia, aku sendiri tak bisa sepertinya.
“Anak-anak . . sekarang kita mulai praktik doa sholatnya. Iqbal, giliran kamu yang jadi imamnya, yang lainnya jadi jamaah. Kalau doa sholat Iqbal salah, ingatkan dia, bagi jamaah laki-laki ucapkan subhanallah, bagi jamaah perempuan tepuk tiga kali. Seperti yang ibu ajarkan kemarin,” perintahku pada murid-murid.
“Iqbal, kamu kemari! Kan kamu ingin menjadi pemimpin negeri ini, seorang pemimpin itu juga harus bisa jadi pemimpin sholat, yaitu sebagai imam. Nah, bagus-bagus kamu lafadzkan doa sholatnya!” aku membentangkan sajadah untuk Iqbal.
Empat muridku yang perempuan sudah berdiri menggenakan mukenanya. Dan muridku yang laki-laki sudah rapi memakai sarung berdiri di belakang Iqbal. Kulihat wajah Iqbal yang tak ada sedikitpun keraguan, ia berdiri mantap penuh keyakinan. Allahu Akbar, ia bertakbir, kemudian membaca doa sholat. Kutatap wajah muridku satu persatu, bibirnya melafadzkan doa sholat mengikuti Iqbal. Ya Allah, semoga saja anak-anakku ini menjadi penerus penegak tiang Agamamu. Menjadi seorang penerang bagi negara ini, selalu berjuang mencerdaskan kehidupan umat. Amin.
***
Selepas Isya, aku, anak-anak dan suami duduk di ruang tamu di depan teve menonton berita. Sebagai seorang ibu, aku juga menjadikan diri sebagai seorang sahabat bagi anak-anakku, agar mereka tak ada rasa sungkan atau malu-malu untuk menceritakan apa saja yang dialaminya. Apalagi anak-anakku sudah remaja, aku harus ekstra hati-hati memonitor di rumah maupun di luar rumah.
“Ma, bangga ya kita sebagai warga kota ini mempunyai wali kota seperti Iqbal Maulana,” puji suamiku pada wali kota yang sedang diwawancarai untuk pilpres di layar kaca.
Aku pun tersenyum bangga, “Iya pa, mama juga ikut bangga sebagai gurunya dulu. Padahal, Pa, waktu Iqbal masih kecil, masya Allah nakalnya bukan main.”
“Iya, Ma, ibu Lila juga ramah dan baik terhadap warganya. Sempat sih banyak warga yang menggunjing Ibu Lila itu Islamnya aneh.
Tapi kenyataanya beliau muslimah yang baik, cerdas, dan berani. Di kampus Ibu Lila sering diundang untuk berbicara dalam kegiatan kampus,” ucap anak pertamaku.
“Ma, aku ingin menjadi seperti Pak Iqbal, seorang pemimpin yang dicintai oleh warganya,” anak ke duaku ikut memuji.
Aku tersenyum lebar mendengar komentar anak-anakku. Ya itulah doa-doaku dulu, murid-muridku harus bisa menjadi penerang umat. Satu persatu doa ini terkabul, mudah-mudahan saja Iqbal menjadi presiden suatu hari nanti.
“Kalau ingin seperti pak Iqbal, kamu harus selalu menjaga sholatmu, belajar sungguh-sungguh. Dan yang ini yang terpenting harus bisa jadi imam sholat! Karena itu yang ibu ajarkan waktu pak Iqbal masih kecil,” ucapku lagi pada anak pertamaku, “Zahra, kamu tahu, Nak? Karena ibu Lila lah, ibu menggenakan cadar, dan terus mengajarkanmu sejak kecil. Kalau ada teman-teman yang mengejak, usil, itu pernah dirasakan ibu Lila waktu kecil.”
“Yang benar, Ma?” tanyanya penasaran.
“Iya, karena yang sering buat nangis ibu Lila waktu kecil ya suaminya sekarang, Iqbal Maulana,” aku tersenyum sambil membayangkan Iqbal kecil dan Lila kecil. []


www.islampos.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Gadis Kecil Bercadar"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel